PERIKLANAN DAN ETIKA
ARTIKEL
Diajukan Guna
Memenuhi Tugas Matakuliah Etika Bisnis
Disusun oleh:
St. Afifatul Khoiriyah
|
160210301065
|
Shinta Alvinaratry
|
160210301063
|
M. Yuhdi
|
160210301074
|
Kholif Fitriyani
|
160210301075
|
Ajeng Nurdiana Putri
|
160210301092
|
Thareq Mahdi Alifisyah
|
160210301058
|
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN EKONOMI
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU
PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2017
Periklanan dan Etika
1.1 Pengertian Periklanan dan Etika
Periklanan merupukan hal yang
tak dapat dipisahkan dalam dunia bisnis. Sebagaimana yang dikemukakan Munandar
dan Priatna (2005: 7) bahwa periklanan merupakan salah satu bentuk promosi yang
paling banyak digunakan perusahaan dalam mempromosikan produknya. Sedangkan
menurut Fandy Tjiptono (2005: 226) mengemukakan bahwa iklan adalah bentuk
komunikasi tidak langsung yang didasari pada informasi tentang keunggulan atau
keuntungan suatu produk, yang disusun sedemikian rupa sehingga menimbulkan rasa
menyenangkan yang akan mengubah pikiran seseorang untuk melakukan pembelian.
Dengan demikian, berdasarkan pengertian tersebut periklanan merupakan sebuah
alat bagi perusahaan untuk meningkatkan penerimaan/ penjualan. Tanpa adanya
periklanan yang baik maka perusahaan akan
kesulitan untuk mempromosikan produknya secara efektif dan efisien dalam rangka
memperoleh keuntungan dan mencari pelanggan.
Sedangkan etika merupakan suatu
nilai baik atau buruk, pantas atau tidaknya suatu hal yang berkenaan dengan
aktivitas manusia. Sebagaimana yang dikemukakan K. Berteins (1994) bahwa etika
adalah niat, apakah perbuatan itu boleh dilakukan atau tidak sesuai
pertimbangan niat baik atau buruk sebagai sebagai akibatnya.
Berdasarkan dua definisi
tersebut, “periklanan dan etika” maka periklanan mempunyai keterkaitan dengan
etika. Etika merupakan salah satu cabang ilmu filsafat yang membahas tentang
moral di mana dalam dunia perbisnisan, moral menjadi sebuah hal yang tidak
dapat dikesampingkan karena berkaitan dengan budaya masyarakat. Karena
masyarakat berperan sebagai objek penjualan, periklanan perusahaan hendaknya
dapat diterima oleh masyarakat dan masyarakat bersedia untuk membeli produk
atau mempercayai jasa perusahaan tersebut.
1.2 Fungsi Periklanan
a. Informing, adanya iklan membuat konsumen sadar (aware) akan merek-merek
baru, mendidik mereka tentang berbagai fitur dan manfaat merek, serta
menfasilitasi penciptaan citra merek yang positif.
b. Persuading, iklan yang efektif akan mampu mempersuasi (membujuk) pelanggan untuk mencoba produk dan jasa yang diiklankan.
c. Reminding, iklan menjaga agar merek perusahaan tetap segar dalam ingatan para konsumen.
d. Adding value, periklanan memberi nilai tambah pada merek dengan mempengaruhi persepsi konsumen
b. Persuading, iklan yang efektif akan mampu mempersuasi (membujuk) pelanggan untuk mencoba produk dan jasa yang diiklankan.
c. Reminding, iklan menjaga agar merek perusahaan tetap segar dalam ingatan para konsumen.
d. Adding value, periklanan memberi nilai tambah pada merek dengan mempengaruhi persepsi konsumen
1.3 Periklanan dan
Kebenaran
Periklanan menjadi ajang suatu bentuk promosi atas suatu
barang maupun jasa yang akan ditawarkan kepada masyarakat, periklanan dinilai
paling ampuh untuk menarik minat konsumen untuk membeli sesuatu yang telah
ditawarkan. Selain itu, periklanan juga menunjukkan kepada konsumen seberapa
bagus suatu perusahaan, semakin spektakuler dan lama iklan tersebut akan
semakin bagus produk tersebut dan begitu juga sebaliknya. Seringkali periklanan
juga menunjukkan persaingan antar perusahaan dengan menunjukkan produk yang
sejenis. Periklanan tidak seratus persen yang diinformasikan adalah benar,
seringkali dalam periklanan terdapat informasi yang melebih-lebihkan, tidak
masuk akal, dan bahkan kebenarannya diragukan oleh konsumen maupun masyarakat.
Iklan terkesan berbohong, menyesatkan dan bahkan menipu publik, dan hal
tersebut tidak etis dilakukan. Kebenaran merupakan hal terpenting dalam
periklanan, apabila tidak ada kebenaran akan merugikan para konsumen dan
akhirnya nama suatu produk tersebut akan turun dan dikecam oleh masyarakat
secara tidak baik.
Dalam buku Etika Bisnis K.Bertens (2015, 287-288) untuk
mengetahui hubungan antara periklanan dan kebanaran kita harus mengerti apa itu
berbohong. Berbohong adalah dengan sengaja mengatakan suatu yang tidak benar,
agar orang lain percaya. Selain itu, berbohong merupakan unsur kesengajaan dan
maksud supaya orang lain percaya. Iklan bukan saja menyesatkan dengan
berbohong, tetapi juga dengan tidak mengatakan seluruh kebenaran, dengan contoh
menyembunyikan atau mendiamkan sesuatu yang sebenarnya penting untuk diketahui
oleh para konsumen. Dan kelemahan maupun kekurangan suatu produk ataupun
kelemahan produk satu dengan yang lain, tidak akan dimuat dalam sebuah
periklanan.
Unsur dalam kebohongan yang pertama adalah unsur kesengajaan.
Ada periklanan yang mengatakan suatu informasi yang tidak benar namun
mengetahuinya dan ada juga periklanan yang mengatakan suatu informasi yang
tidak benar, tapi tidak mengetahuinya. Namun hal kedua tersebut jarang sekali
ditemui dan akan terjadi, rata-rata semua periklanan pasti mengetahui tentang
seluk beluk informasi suatu produk maupun jasa yang akan ditawarkan sebelum
menerbitkan sebuah iklan. Jadi, jika terdapat iklan yang mengatakan suatu
informasi kepada konsumen tidak sesuai dengan kenyataan dan sesungguhnya mengetahui,
dapat dikatakan hal ini adalah kebohongan dan berbohong dalam iklan menunjukkan
bahwa perusahaan produk tersebut tidak memiliki etika berbisnis dalam hal
periklanan.
Unsur yang kedua adalah bermaksut supaya orang lain percaya,
dalam buku Etika Bisnis K.Bertens (2015, 289) perlu diperhatikan pembedaan
antara iklan informative dan iklan persuasive, atau antara unsur informasi dan
unsur promosi dalam iklan. Unsur informasi selalu harus benar, karena informasi
selalu diberikan agar orang percaya, sedangkan informasi yang tidak benar akan
menipu public yang dituju. Dan seorang konsumen tidak mempunyai alasan untuk
tidak percaya pada informasi tersebut, karena akan merasa dibohongi bila
informasinya tidak benar.
Selain kedua unsur tersebut, iklan juga memiliki unsur
promosi. Iklan membujuk rayu masyarakat sebagai konsumen untuk segera membeli,
menarik perhatian, mengiming-ngimingi masyarakat dan calon pembeli. Karena itu,
bahasa periklanan menggunakan majas superlative, majas hiperbola dan memiliki
retorika tersendiri. Selalu meng-angungkan, menomor satukan, terbaik, teratas, menggunakan
kata “paling atau ter”, dll. Namun, iklan disini tidak bermaksut supaya publik
percaya sepenuhnya dengan apa yang telah diinformasikan, melainkan menarik
perhatian masyarakat dan calon konsumen supaya dapat memikat hati dan segera
untuk membeli. Dan masyarakat juga harus mengetahui bahwa bahasa periklanan
harus benar-benar dimengerti bukan hanya langsung percaya begitu saja.
Periklanan dikatakan tidak memiliki etika jika suatu
periklanan berbohong, namun suatu iklan yang karena menipu juga dapat dikatakan
tidak memiliki etika. Kebohongan ataupun penipuan tidak memiliki makna yang
sama dalam penerapannya. Berbohong berkaitan dengan kata-kata dan bahasa, baik
secara tertulis maupun lisan. Sedangkan penipuan memiliki cakupan yang lebih
luas dari berbohong, bisa berlangsung dalam tata bahasa dan kata-kata, tetapi
bisa juga dilakukan dengan cara lain. Penipuan memiliki makna suatu
keberhasilan usaha, yang dalam artiannya secara negatif. Penipuan tidak dapat
dikatakan penipuan jika ada pihak yang menggagalkan maupun digagalkan oleh
calon korban. Hal tersebut merupaka usaha untuk menipu, tapi tidak berhasil
dalam apa yang dikehendakinya.
Suatu iklan yang terdapat dalam media visual seperti
televisi, menampilkan suatu produk yang dapat menimbulkan kesan yang tidak
sesungguhnya, karena adanya calon konsumen dihadapkan pada ilusi opsi dan
sejenisnya yang lain. Sulit untuk membedakan secara jelas manakah iklan yang
memiliki etika dan tidak, susah untuk menarik garis besar perbatasan antara
yang melebih-lebihkan dan berbohong. Untuk menilai moralitas suatu iklan,
terutama calon konsumen harus pintar mengartikan dan menyimak secara baik dan
benar apa maksud dari iklan tersebut. Terkait dengan kebenaran dalam periklanan
menurut buku Etika Bisnis K.Bertens (2015, 291) tidak dapat dipisahkan dengan
cara hitam putih, banyak tergantung pada situasi yang nyata dan kesediaan
public untuk menerimanya atau tidak.
1.4 Manipulasi dalam Periklanan
Sebelum mengetahui hubungan manipulasi dalam periklanan serta
pengaruhnya, harus mengetahui terlebih dahulu apa itu manipulasi dan bagaimana
manipulasi terdapat dalam sebuah periklanan. Manipulasi merupakan kegiatan
mempengaruhi kemauan seseorang (jika dalam dunia periklanan adalah masyarakat
atau calon konsumen) dengan sedemikian rupa untuk melakukan dan melaksanakan
sesuatu yang sebenarnya tidak tentu diinginkan oleh seseorang. Seseorang
tersebut akan mengikuti motivasi yang telah diberikan dan besaral tidak dari
dirinya sendiri, melainkan telah ditanamnya dari pihak luar, contohnya seperti
hipnotis.
Manipulasi dalam periklanan dikatakan tidak memiliki etika
jika melanggar hak asasi manusia, hanya dijadikan sebagai sarana dan perantara
semata. Dalam Etika Bisnis K.Bertens (2015, 292) pada tahun 1950-an bahaya
terjadinya manipulasi propaganda politik dan ideology menjadi momok yang
menakuti banyak orang di masyarakat barat, karena waktu itu berlangsung Perang
Dingin. Perang tersebut sebagaian besar merupakan perang propaganda, propaganda
yang memanfaatkan ilmu psikologi. Disaat yang sama dari sudut ekonomi
mengemukakan pendapat tentang periklanan, bahwa upaya periklanan bersifat
manipulative. John Kennth dalam bukunya The Affluent Society melukiskan bagaimana
bisnis modern menciptakan keinginan pada konsumen melalui upaya periklanan dan
kemudian memenuhinya dengan produk-produk tersebut.
Pada umunya periklanan berusaha mempengaruhi tingkah laku
konsumen, dengan cara memanfaatkan faktor-faktor psikologis, seperti: status,
gengsi, dll. Contoh usaha untuk mempengaruhi tingkah laku konsemen yaitu dengan
cara menampilkan sosok idola dalam iklan dan memberikan hadiah. Sosok idola
yang ditampilkan dalam sebuah iklan, dapat mempengaruhi tingkah laku
penggemarnya dalam mengkonsumsi sebuah produk, konsumen akan membeli apa yang
digunakan oleh idolanya, selain itu dengan pemberian hadiah seperti beli 2
dapat 3, diskon 10%, mendapatkan voucher dll.
Manipulasi melalui periklanan atau dengan cara bagaimanapun
merupakan tindakan yang tidak memiliki etika. Namun, harus dibedakan secara
baik antara mempengaruhi perilaku dan manipulasi. Karena setiap hari manusia
dalam bertingkah laku dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti faktor
lingkungan, namun hal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai manipulasi,
sehingga tingkah laku dalam berkonsumsi seseorang tersebut berasal dari diri
sendiri, keputusan untuk membeli sebuah produk atau tidak dalam sebuah iklan
merupakan kepetusan dari konsumen sendiri.
1.5 Pengontrolan terhadap iklan
Karena kemungkinan dipermainkannya kebenaran dan terjadinya manipulasi
merupakan hal-hal rawan dalam bisnis periklanan, perlulah adanya kontrol yang
tepat mengimbangi kerawanan tersebut.
A. Kontrol oleh pemerintah
Seperti yang dilakukan oleh Menteri Kesetaraan Inggris pada produk
kecantikan yang beredar di negaranya dimana antara model yang digunakan pada
iklan tersebut kurang sesuai dengan wajah aslinya. Dan di Indonesia sendiri
beberapa Undang-Undang telah ditetapkan untuk melindungi konsumen terhadap
beberapa produk yang menyalahi aturan, diantaranya telah terdapat iklan tentang
makanan dan obat yang diawasi oleh Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan
Makanan (POM) dari Departemen Kesehatan.
B. Kontrol oleh para pengiklan
Cara paling ampuh untuk menanggulangi masalah etis tentang periklanan
adalah pengaturan diri (self-regulation) oleh dunia periklanan yang biasanya
hal tersebut dilakukan dengan menyusun sebuah kode etik, sejumlah norma dan
pedoman yang disetujui oleh profesi periklanan itu sendiri, khususnya oleh
asosiasi biro-biro periklanan.
Di Indonesia sendiri terdapat Tata krama dan tata cara periklanan Indonesia
yang disempurnakan (1996) yang dikeluarkan oleh AMLI (Asosiasi Perusahaan Media
Luar Ruang Indonesia), ASPINDO (Asosiasi Pemrakarsa dan Penyantun Iklan
Indonesia), ASPINDO (Asosiasi Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia), GPBSI
(Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia), PPPI (Persatuan Perusahaan
Periklanan Indonesia), PRSSNI (Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional
Indonesia), SPS (Serikat Penerbit Surat Kabar) dan Yayasan TVRI (Yayasan
Televisi Republik Indonesia).
Sedang di Amerika terdapat National Advertising Review Board (NARB) yang
disponsori oleh American Association of Advertising Agencies, American
Advertising Federation, Association of National Advertisers, dan Council of
Better Bussines Bureaus. Tujuannya adalah pengaturan diri oleh para pengiklan.
NARB ini menyelidiki semua keluhan tentang periklanan dan memberitahukan
hasilnya kepada instansi yang mengajukan keluhannya, dan kegiatan ini diumumkan
juga setiap bulan melalui sebuah press
release.
C. Kontrol oleh masyarakat
Masyarakat luas tentu harus ikut serta dalam mengawasi mutu etis
periklanan. Dalam hal ini suatu cara yang terbukti membawa banyak hasil dalam
menetralisasiefek-efek negatif dari periklanan adalah mendukung dan
menggalakkan lembaga-lembaga konsumen, diantaranya yang terdapat di Indonesia
(Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia di Jakarta dan kemudian Lembaga Pembinaan
dan Perlindungan Konsumen di Semarang).
Selain menjaga agar periklanan tidak menyalahi batas-batas etika melalui
pengontrolan terhadap iklan-iklan dalam media massa, ada juga cara lebih
positif untuk meningkatkan mutu etis dari iklan dengan memberikan penghargaan
kepada iklan yang dinilai paling baik. Penghargaan untuk iklan tersebut bisa
diberikan oleh instansi pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat, sebuah majalah,
atau lain-lain. Di Indonesia sendiri kita mempunyai Citra Adhi Pariwara yang
setiap tahun dikeluarkan oleh “Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia”. Dan
apresiasi tersebut dapat memberikan pengaruh positif terhadap perusahaan lain
untuk dapat berkreasi secara lebih baik.
1.6 Penilaian Etis terhadap Iklan
Suatu penilaian yang diberikan terhadap adanya iklan tidak lepas dari
pemikiran moral. Dalam hal ini prinsip-prinsip etis ternyata tidak cukup untuk
menilai moralitas sebuah iklan karena didalam penerapannya banyak faktor lain
yang ikut berperan diantaranya adalah sebagai berikut:
A. Maksud si pengiklan
Jika maksud si pengiklan tidak baik, dengan sendirinya moralitas iklan
tersebut menjadi tidak baik juga. Jika si
pengiklan mengetahui bahwa produk yang diiklankan merugikan konsumen atau
dengan sengaja menjelekkan produk pesaing, maka iklan ini menjadi tidak etis.
Sebagai contoh iklan tentang roti
Profile di Amerika Serikat, yang menyatakan bahwa roti ini bermanfaat untuk
melangsingkan tubuh, karena kalorinya kurang dibandingkan dengan roti merk
lain. Tapi ternyata, roti Profile ini hanya diiris lebih tipis. Jika diukur per
ons, roti ini sama banyak kalorinya dengan roti merk lain.
B. Isi iklan
Isi iklan harus benar dan tidak boleh mengandung unsur yang menyesatkan,
dan tidak bermoral. Dalam persaingan yang dilakukan antar operator seluler
Kartu As (Simpati) dan XL, sebagian besar penonton akan menganggap hal tersebut
sebagai sebuah lelucon karena model utamanya merupakan seorang pelawak,
sehingga isi dari iklan tersebut akan mudah ditangkap. Begitu pula dengan
manipulasi yang dilakukan oleh beberapa produk kecantikan, terlihat bahwa hal
tersebut dapat mempengaruhi pemikiran penonton karena model yang ditampilkan
terlihat ‘sempurna’ dengan produk dan perlengkapan make up yang digunakan dari
produk yang diiklankan.
C. Keadaan publik yang tertuju
Secara umum bisa dikatakan bahwa periklanan mempunyai potensi besar untuk
mengipas-ngipas kecemburuan sosial dalam masyarakat dengan memamerkan sikap
konsumerisme dan hedonisme dari suatu elite kecil. Hal ini merupakan aspek etis
yang sangat penting, terutama dalam masyarakat yang ditandai kesenjangan sosial
yang besar seperti Indonesia. Keuntungan perusahaan menjadi tujuan utama bagi
para pengiklan untuk melalukan promosi, namun di sisi lain televisi sebagai
media utama yang banyak digunakan para pengiklan adalah media yang tidak
gampang dikendalikan dari luar, ditambah dengan adanya televisi dan parabola.
Mungkin tidak realistis juga untuk mengharapkan bisa melarang periklanan di TV
secara total. Tetapi bahaya ditingkatkannya kecemburuan sosial tidak pernah
boleh dilupakan. Hal ini ternyata seringkali masih kurang disadari oleh
televisi swasta.
D. Kebiasaan di bidang periklanan
Periklanan selalu dipraktekkan dalam rangka suatu tradisi. Dalam tradisi
tersebut orang telah terbiasa dengan cara tertentu disajikannya iklan. Sudah
ada aturan main yang disepakati secara implisit atau eksplisit dan yang
seringkali tidak dapat dipisahkan dari etis yang menandai masyarakat tersebut.
Misalnya saja yang terjadi di Indonesia sekarang suatu iklan dinilai biasa saja
sedang tiga puluh tahun lalu pasti masih mengakibatkan banyak orang
mengernyitkan alisnya. Dalam refleksi etika tentang periklanan rupanya tidak
mungkin dihindarkan suatu nada relativistis.
1.7 Contoh kasus periklanan etika
Dalam periklanan, etika berperan penting bagi pebisnis agar terjadi iklim persaingan yang kondusif (persaingan yang sehat) sehingga bisnis bukan hanya sebagai suatu usaha dalam rangka mendapatkan keuntungan di pihak perusahaan melainkan tetap memperhatikan kepentingan konsumen dalam hal ini konsumen berhak untuk mendapatkan manfaat dari iklan tersebut. Namun, kadang kala banyak perusahaan yang mengesampingkan hal itu bahkan untuk kasus yang parah hingga membahayakan keselamatan konsumen. Berikut beberapa contoh kasus etika periklanan di Indonesia yang melanggar EPI (Etika Pariwara Indonesia)
A. Periklanan Maskapai Garuda Indonesia
Pada kasus ini periklanan dari maskapai melanggar nilai hukum etika dan komunikasi bisnis dalam pemasaran yaitu pada iklan pesawat maskapai Garuda Indonesia. Dalam iklan maskapai pesawat Garuda Indonesia ini dapat dilihat bahwa iklan ini telah menampilkan perbandingan antara produk atau keunggulan yang menjadi ciri khas maskapai pesawat Garuda Indonesia dengan kelemahan dari produk barang dan jasa dari maskapai lain dengan tujuan untuk menjatuhkan dan merendahkan produk maskapai lain. Walaupun iklan yang sudah dibuat dengan strategi iklan yang sudah bagus, akan tetapi pesan di dalamnya akan menimbukan masalah pada produk lain. Dalam Strategi iklan maskapai pesawat Garuda Indonesia menunjukkan bahwa kenyamanan dari konsumen ketika sedang dilayani dengan maskapai Garuda Indonesia yang menjadi sumber utama bagi mereka, akan tetapi dengan menggunakan produk pesaing yaitu maskapai pesawat yang lain merupakan salah satu pelanggaran etika dalam beriklan. Dalam salah satu prinsip etika yang diatur di dalam EPI, terdapat sebuah prinsip bahwa “Iklan tidak boleh merendahkan produk pesaing secara langsung maupun tidak langsung”
B. Periklanan So Nice
Dalam kasus ini iklan So Nice So good telah melanggar peraturan dan prinsip dalam Perundang-undangan. Iklan ini tidak memperhatikan etika dalam berbisnis dimana terselip kata persuasif “mereka yang mengkonsumsi produk yang diiklankan akan tumbuh lebih tinggi daripada yang tidak”. Hal ini menunjukkan bahwa adanya makna atau informasi yang tidak benar. Kasus ini membuktikan bahwa telah terjadi pelanggaran dalam proses promosi serta melanggar hak-hak konsumen mengenai hak untuk mendapat informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa sebagaimana diatur dalam EPI bahwa “Jika suatu iklan mencantumkan garansi atau jaminan atas mutu suatu produk, maka dasar-dasar jaminannya harus dapat dipertanggungjawabkan”
DAFTAR PUSTAKA
K.BERTENS. 2013. Pengantar Etika Bisnis. Yogyakarta:Kanisius
Ritonga, Erni. 2010. http://erniritonga123.blogspot.co.id/2010/01/definisi-etika.html (Diakses 9 April 2017)
Saragih, Yuli Irani. 2015. http://yuliiranis.blogspot.co.id/2015/12/pelanggaran-etika-pada-iklan-garuda.html (Diakses 9 April 2017)
Anonim. 2017. https://communicationista.wordpress.com/2009/07/01/fungsi-dan-peran-iklan/ (Diakses 9 April 2017)
http://repository.widyatama.ac.id/xmlui/bitstream/handle/123456789/2480/Bab%202.pdf?sequence=20