Jumat, 14 April 2017

Periklanan dan Etika




PERIKLANAN DAN ETIKA
ARTIKEL
Diajukan Guna Memenuhi Tugas Matakuliah Etika Bisnis






Disusun oleh:
St. Afifatul Khoiriyah
160210301065
Shinta Alvinaratry
160210301063
M. Yuhdi
160210301074
Kholif Fitriyani
160210301075
Ajeng Nurdiana Putri
160210301092
Thareq Mahdi Alifisyah
160210301058





PROGRAM STUDI PENDIDIKAN EKONOMI
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2017











 


Periklanan dan Etika


1.1  Pengertian Periklanan dan Etika

Periklanan merupukan hal yang tak dapat dipisahkan dalam dunia bisnis. Sebagaimana yang dikemukakan Munandar dan Priatna (2005: 7) bahwa periklanan merupakan salah satu bentuk promosi yang paling banyak digunakan perusahaan dalam mempromosikan produknya. Sedangkan menurut Fandy Tjiptono (2005: 226) mengemukakan bahwa iklan adalah bentuk komunikasi tidak langsung yang didasari pada informasi tentang keunggulan atau keuntungan suatu produk, yang disusun sedemikian rupa sehingga menimbulkan rasa menyenangkan yang akan mengubah pikiran seseorang untuk melakukan pembelian. Dengan demikian, berdasarkan pengertian tersebut periklanan merupakan sebuah alat bagi perusahaan untuk meningkatkan penerimaan/ penjualan. Tanpa adanya periklanan  yang baik maka perusahaan akan kesulitan untuk mempromosikan produknya secara efektif dan efisien dalam rangka memperoleh keuntungan dan mencari pelanggan.

Sedangkan etika merupakan suatu nilai baik atau buruk, pantas atau tidaknya suatu hal yang berkenaan dengan aktivitas manusia. Sebagaimana yang dikemukakan K. Berteins (1994) bahwa etika adalah niat, apakah perbuatan itu boleh dilakukan atau tidak sesuai pertimbangan niat baik atau buruk sebagai sebagai akibatnya.

Berdasarkan dua definisi tersebut, “periklanan dan etika” maka periklanan mempunyai keterkaitan dengan etika. Etika merupakan salah satu cabang ilmu filsafat yang membahas tentang moral di mana dalam dunia perbisnisan, moral menjadi sebuah hal yang tidak dapat dikesampingkan karena berkaitan dengan budaya masyarakat. Karena masyarakat berperan sebagai objek penjualan, periklanan perusahaan hendaknya dapat diterima oleh masyarakat dan masyarakat bersedia untuk membeli produk atau mempercayai jasa perusahaan tersebut.



1.2  Fungsi Periklanan
 a.        Informing, adanya iklan membuat konsumen sadar (aware) akan merek-merek baru, mendidik mereka tentang berbagai fitur dan manfaat merek, serta menfasilitasi penciptaan citra merek yang positif. 
 b.    Persuading, iklan yang efektif akan mampu mempersuasi (membujuk) pelanggan untuk mencoba produk dan jasa yang diiklankan. 
  c.       Reminding, iklan menjaga agar merek perusahaan tetap segar dalam ingatan para konsumen. 
d.       Adding value, periklanan memberi nilai tambah pada merek dengan mempengaruhi persepsi konsumen


1.3   Periklanan dan Kebenaran
Periklanan menjadi ajang suatu bentuk promosi atas suatu barang maupun jasa yang akan ditawarkan kepada masyarakat, periklanan dinilai paling ampuh untuk menarik minat konsumen untuk membeli sesuatu yang telah ditawarkan. Selain itu, periklanan juga menunjukkan kepada konsumen seberapa bagus suatu perusahaan, semakin spektakuler dan lama iklan tersebut akan semakin bagus produk tersebut dan begitu juga sebaliknya. Seringkali periklanan juga menunjukkan persaingan antar perusahaan dengan menunjukkan produk yang sejenis. Periklanan tidak seratus persen yang diinformasikan adalah benar, seringkali dalam periklanan terdapat informasi yang melebih-lebihkan, tidak masuk akal, dan bahkan kebenarannya diragukan oleh konsumen maupun masyarakat. Iklan terkesan berbohong, menyesatkan dan bahkan menipu publik, dan hal tersebut tidak etis dilakukan. Kebenaran merupakan hal terpenting dalam periklanan, apabila tidak ada kebenaran akan merugikan para konsumen dan akhirnya nama suatu produk tersebut akan turun dan dikecam oleh masyarakat secara tidak baik.
Dalam buku Etika Bisnis K.Bertens (2015, 287-288) untuk mengetahui hubungan antara periklanan dan kebanaran kita harus mengerti apa itu berbohong. Berbohong adalah dengan sengaja mengatakan suatu yang tidak benar, agar orang lain percaya. Selain itu, berbohong merupakan unsur kesengajaan dan maksud supaya orang lain percaya. Iklan bukan saja menyesatkan dengan berbohong, tetapi juga dengan tidak mengatakan seluruh kebenaran, dengan contoh menyembunyikan atau mendiamkan sesuatu yang sebenarnya penting untuk diketahui oleh para konsumen. Dan kelemahan maupun kekurangan suatu produk ataupun kelemahan produk satu dengan yang lain, tidak akan dimuat dalam sebuah periklanan.
Unsur dalam kebohongan yang pertama adalah unsur kesengajaan. Ada periklanan yang mengatakan suatu informasi yang tidak benar namun mengetahuinya dan ada juga periklanan yang mengatakan suatu informasi yang tidak benar, tapi tidak mengetahuinya. Namun hal kedua tersebut jarang sekali ditemui dan akan terjadi, rata-rata semua periklanan pasti mengetahui tentang seluk beluk informasi suatu produk maupun jasa yang akan ditawarkan sebelum menerbitkan sebuah iklan. Jadi, jika terdapat iklan yang mengatakan suatu informasi kepada konsumen tidak sesuai dengan kenyataan dan sesungguhnya mengetahui, dapat dikatakan hal ini adalah kebohongan dan berbohong dalam iklan menunjukkan bahwa perusahaan produk tersebut tidak memiliki etika berbisnis dalam hal periklanan.
Unsur yang kedua adalah bermaksut supaya orang lain percaya, dalam buku Etika Bisnis K.Bertens (2015, 289) perlu diperhatikan pembedaan antara iklan informative dan iklan persuasive, atau antara unsur informasi dan unsur promosi dalam iklan. Unsur informasi selalu harus benar, karena informasi selalu diberikan agar orang percaya, sedangkan informasi yang tidak benar akan menipu public yang dituju. Dan seorang konsumen tidak mempunyai alasan untuk tidak percaya pada informasi tersebut, karena akan merasa dibohongi bila informasinya tidak benar.
Selain kedua unsur tersebut, iklan juga memiliki unsur promosi. Iklan membujuk rayu masyarakat sebagai konsumen untuk segera membeli, menarik perhatian, mengiming-ngimingi masyarakat dan calon pembeli. Karena itu, bahasa periklanan menggunakan majas superlative, majas hiperbola dan memiliki retorika tersendiri. Selalu meng-angungkan, menomor satukan, terbaik, teratas, menggunakan kata “paling atau ter”, dll. Namun, iklan disini tidak bermaksut supaya publik percaya sepenuhnya dengan apa yang telah diinformasikan, melainkan menarik perhatian masyarakat dan calon konsumen supaya dapat memikat hati dan segera untuk membeli. Dan masyarakat juga harus mengetahui bahwa bahasa periklanan harus benar-benar dimengerti bukan hanya langsung percaya begitu saja.
Periklanan dikatakan tidak memiliki etika jika suatu periklanan berbohong, namun suatu iklan yang karena menipu juga dapat dikatakan tidak memiliki etika. Kebohongan ataupun penipuan tidak memiliki makna yang sama dalam penerapannya. Berbohong berkaitan dengan kata-kata dan bahasa, baik secara tertulis maupun lisan. Sedangkan penipuan memiliki cakupan yang lebih luas dari berbohong, bisa berlangsung dalam tata bahasa dan kata-kata, tetapi bisa juga dilakukan dengan cara lain. Penipuan memiliki makna suatu keberhasilan usaha, yang dalam artiannya secara negatif. Penipuan tidak dapat dikatakan penipuan jika ada pihak yang menggagalkan maupun digagalkan oleh calon korban. Hal tersebut merupaka usaha untuk menipu, tapi tidak berhasil dalam apa yang dikehendakinya.
Suatu iklan yang terdapat dalam media visual seperti televisi, menampilkan suatu produk yang dapat menimbulkan kesan yang tidak sesungguhnya, karena adanya calon konsumen dihadapkan pada ilusi opsi dan sejenisnya yang lain. Sulit untuk membedakan secara jelas manakah iklan yang memiliki etika dan tidak, susah untuk menarik garis besar perbatasan antara yang melebih-lebihkan dan berbohong. Untuk menilai moralitas suatu iklan, terutama calon konsumen harus pintar mengartikan dan menyimak secara baik dan benar apa maksud dari iklan tersebut. Terkait dengan kebenaran dalam periklanan menurut buku Etika Bisnis K.Bertens (2015, 291) tidak dapat dipisahkan dengan cara hitam putih, banyak tergantung pada situasi yang nyata dan kesediaan public untuk menerimanya atau tidak.


1.4  Manipulasi dalam Periklanan 
Sebelum mengetahui hubungan manipulasi dalam periklanan serta pengaruhnya, harus mengetahui terlebih dahulu apa itu manipulasi dan bagaimana manipulasi terdapat dalam sebuah periklanan. Manipulasi merupakan kegiatan mempengaruhi kemauan seseorang (jika dalam dunia periklanan adalah masyarakat atau calon konsumen) dengan sedemikian rupa untuk melakukan dan melaksanakan sesuatu yang sebenarnya tidak tentu diinginkan oleh seseorang. Seseorang tersebut akan mengikuti motivasi yang telah diberikan dan besaral tidak dari dirinya sendiri, melainkan telah ditanamnya dari pihak luar, contohnya seperti hipnotis.
Manipulasi dalam periklanan dikatakan tidak memiliki etika jika melanggar hak asasi manusia, hanya dijadikan sebagai sarana dan perantara semata. Dalam Etika Bisnis K.Bertens (2015, 292) pada tahun 1950-an bahaya terjadinya manipulasi propaganda politik dan ideology menjadi momok yang menakuti banyak orang di masyarakat barat, karena waktu itu berlangsung Perang Dingin. Perang tersebut sebagaian besar merupakan perang propaganda, propaganda yang memanfaatkan ilmu psikologi. Disaat yang sama dari sudut ekonomi mengemukakan pendapat tentang periklanan, bahwa upaya periklanan bersifat manipulative. John Kennth dalam bukunya The Affluent Society melukiskan bagaimana bisnis modern menciptakan keinginan pada konsumen melalui upaya periklanan dan kemudian memenuhinya dengan produk-produk tersebut.
Pada umunya periklanan berusaha mempengaruhi tingkah laku konsumen, dengan cara memanfaatkan faktor-faktor psikologis, seperti: status, gengsi, dll. Contoh usaha untuk mempengaruhi tingkah laku konsemen yaitu dengan cara menampilkan sosok idola dalam iklan dan memberikan hadiah. Sosok idola yang ditampilkan dalam sebuah iklan, dapat mempengaruhi tingkah laku penggemarnya dalam mengkonsumsi sebuah produk, konsumen akan membeli apa yang digunakan oleh idolanya, selain itu dengan pemberian hadiah seperti beli 2 dapat 3, diskon 10%, mendapatkan voucher dll.
Manipulasi melalui periklanan atau dengan cara bagaimanapun merupakan tindakan yang tidak memiliki etika. Namun, harus dibedakan secara baik antara mempengaruhi perilaku dan manipulasi. Karena setiap hari manusia dalam bertingkah laku dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti faktor lingkungan, namun hal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai manipulasi, sehingga tingkah laku dalam berkonsumsi seseorang tersebut berasal dari diri sendiri, keputusan untuk membeli sebuah produk atau tidak dalam sebuah iklan merupakan kepetusan dari konsumen sendiri.


1.5  Pengontrolan terhadap iklan
Karena kemungkinan dipermainkannya kebenaran dan terjadinya manipulasi merupakan hal-hal rawan dalam bisnis periklanan, perlulah adanya kontrol yang tepat mengimbangi kerawanan tersebut.

 
           A.    Kontrol oleh pemerintah
Seperti yang dilakukan oleh Menteri Kesetaraan Inggris pada produk kecantikan yang beredar di negaranya dimana antara model yang digunakan pada iklan tersebut kurang sesuai dengan wajah aslinya. Dan di Indonesia sendiri beberapa Undang-Undang telah ditetapkan untuk melindungi konsumen terhadap beberapa produk yang menyalahi aturan, diantaranya telah terdapat iklan tentang makanan dan obat yang diawasi oleh Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (POM) dari Departemen Kesehatan.

           B.     Kontrol oleh para pengiklan
Cara paling ampuh untuk menanggulangi masalah etis tentang periklanan adalah pengaturan diri (self-regulation) oleh dunia periklanan yang biasanya hal tersebut dilakukan dengan menyusun sebuah kode etik, sejumlah norma dan pedoman yang disetujui oleh profesi periklanan itu sendiri, khususnya oleh asosiasi biro-biro periklanan.
Di Indonesia sendiri terdapat Tata krama dan tata cara periklanan Indonesia yang disempurnakan (1996) yang dikeluarkan oleh AMLI (Asosiasi Perusahaan Media Luar Ruang Indonesia), ASPINDO (Asosiasi Pemrakarsa dan Penyantun Iklan Indonesia), ASPINDO (Asosiasi Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia), GPBSI (Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia), PPPI (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia), PRSSNI (Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia), SPS (Serikat Penerbit Surat Kabar) dan Yayasan TVRI (Yayasan Televisi Republik Indonesia).
Sedang di Amerika terdapat National Advertising Review Board (NARB) yang disponsori oleh American Association of Advertising Agencies, American Advertising Federation, Association of National Advertisers, dan Council of Better Bussines Bureaus. Tujuannya adalah pengaturan diri oleh para pengiklan. NARB ini menyelidiki semua keluhan tentang periklanan dan memberitahukan hasilnya kepada instansi yang mengajukan keluhannya, dan kegiatan ini diumumkan juga setiap bulan melalui sebuah press release.

           C.    Kontrol oleh masyarakat
Masyarakat luas tentu harus ikut serta dalam mengawasi mutu etis periklanan. Dalam hal ini suatu cara yang terbukti membawa banyak hasil dalam menetralisasiefek-efek negatif dari periklanan adalah mendukung dan menggalakkan lembaga-lembaga konsumen, diantaranya yang terdapat di Indonesia (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia di Jakarta dan kemudian Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen di Semarang).
Selain menjaga agar periklanan tidak menyalahi batas-batas etika melalui pengontrolan terhadap iklan-iklan dalam media massa, ada juga cara lebih positif untuk meningkatkan mutu etis dari iklan dengan memberikan penghargaan kepada iklan yang dinilai paling baik. Penghargaan untuk iklan tersebut bisa diberikan oleh instansi pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat, sebuah majalah, atau lain-lain. Di Indonesia sendiri kita mempunyai Citra Adhi Pariwara yang setiap tahun dikeluarkan oleh “Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia”. Dan apresiasi tersebut dapat memberikan pengaruh positif terhadap perusahaan lain untuk dapat berkreasi secara lebih baik.



1.6  Penilaian Etis terhadap Iklan
Suatu penilaian yang diberikan terhadap adanya iklan tidak lepas dari pemikiran moral. Dalam hal ini prinsip-prinsip etis ternyata tidak cukup untuk menilai moralitas sebuah iklan karena didalam penerapannya banyak faktor lain yang ikut berperan diantaranya adalah sebagai berikut:
          A.    Maksud si pengiklan
Jika maksud si pengiklan tidak baik, dengan sendirinya moralitas iklan tersebut menjadi tidak baik juga. Jika si pengiklan mengetahui bahwa produk yang diiklankan merugikan konsumen atau dengan sengaja menjelekkan produk pesaing, maka iklan ini menjadi tidak etis. Sebagai contoh  iklan tentang roti Profile di Amerika Serikat, yang menyatakan bahwa roti ini bermanfaat untuk melangsingkan tubuh, karena kalorinya kurang dibandingkan dengan roti merk lain. Tapi ternyata, roti Profile ini hanya diiris lebih tipis. Jika diukur per ons, roti ini sama banyak kalorinya dengan roti merk lain.
          B.     Isi iklan
Isi iklan harus benar dan tidak boleh mengandung unsur yang menyesatkan, dan tidak bermoral. Dalam persaingan yang dilakukan antar operator seluler Kartu As (Simpati) dan XL, sebagian besar penonton akan menganggap hal tersebut sebagai sebuah lelucon karena model utamanya merupakan seorang pelawak, sehingga isi dari iklan tersebut akan mudah ditangkap. Begitu pula dengan manipulasi yang dilakukan oleh beberapa produk kecantikan, terlihat bahwa hal tersebut dapat mempengaruhi pemikiran penonton karena model yang ditampilkan terlihat ‘sempurna’ dengan produk dan perlengkapan make up yang digunakan dari produk yang diiklankan.
           C.    Keadaan publik yang tertuju
Secara umum bisa dikatakan bahwa periklanan mempunyai potensi besar untuk mengipas-ngipas kecemburuan sosial dalam masyarakat dengan memamerkan sikap konsumerisme dan hedonisme dari suatu elite kecil. Hal ini merupakan aspek etis yang sangat penting, terutama dalam masyarakat yang ditandai kesenjangan sosial yang besar seperti Indonesia. Keuntungan perusahaan menjadi tujuan utama bagi para pengiklan untuk melalukan promosi, namun di sisi lain televisi sebagai media utama yang banyak digunakan para pengiklan adalah media yang tidak gampang dikendalikan dari luar, ditambah dengan adanya televisi dan parabola. Mungkin tidak realistis juga untuk mengharapkan bisa melarang periklanan di TV secara total. Tetapi bahaya ditingkatkannya kecemburuan sosial tidak pernah boleh dilupakan. Hal ini ternyata seringkali masih kurang disadari oleh televisi swasta.
           D.    Kebiasaan di bidang periklanan
Periklanan selalu dipraktekkan dalam rangka suatu tradisi. Dalam tradisi tersebut orang telah terbiasa dengan cara tertentu disajikannya iklan. Sudah ada aturan main yang disepakati secara implisit atau eksplisit dan yang seringkali tidak dapat dipisahkan dari etis yang menandai masyarakat tersebut. Misalnya saja yang terjadi di Indonesia sekarang suatu iklan dinilai biasa saja sedang tiga puluh tahun lalu pasti masih mengakibatkan banyak orang mengernyitkan alisnya. Dalam refleksi etika tentang periklanan rupanya tidak mungkin dihindarkan suatu nada relativistis.





1.7 Contoh kasus periklanan etika


Dalam periklanan, etika berperan penting bagi pebisnis agar terjadi iklim persaingan yang kondusif (persaingan yang sehat) sehingga bisnis bukan hanya sebagai suatu usaha dalam rangka mendapatkan keuntungan di pihak perusahaan melainkan tetap memperhatikan kepentingan konsumen dalam hal ini konsumen berhak untuk mendapatkan manfaat dari iklan tersebut. Namun, kadang kala banyak perusahaan yang mengesampingkan hal itu bahkan untuk kasus yang parah hingga membahayakan keselamatan konsumen. Berikut beberapa contoh kasus etika periklanan di Indonesia yang melanggar EPI (Etika Pariwara Indonesia)





A. Periklanan Maskapai Garuda Indonesia


Pada kasus ini periklanan dari maskapai melanggar nilai hukum etika dan komunikasi bisnis dalam pemasaran yaitu pada iklan pesawat maskapai Garuda Indonesia. Dalam iklan maskapai pesawat Garuda Indonesia ini dapat dilihat bahwa iklan ini telah menampilkan perbandingan antara produk atau keunggulan yang menjadi ciri khas maskapai pesawat Garuda Indonesia dengan kelemahan dari produk barang dan jasa dari maskapai lain dengan tujuan untuk menjatuhkan dan merendahkan produk maskapai lain. Walaupun iklan yang sudah dibuat dengan strategi iklan yang sudah bagus, akan tetapi pesan di dalamnya akan menimbukan masalah pada produk lain. Dalam Strategi iklan maskapai pesawat Garuda Indonesia menunjukkan bahwa kenyamanan dari konsumen ketika sedang dilayani dengan maskapai Garuda Indonesia yang menjadi sumber utama bagi mereka, akan tetapi dengan menggunakan produk pesaing yaitu maskapai pesawat yang lain merupakan salah satu pelanggaran etika dalam beriklan. Dalam salah satu prinsip etika yang diatur di dalam EPI, terdapat sebuah prinsip bahwa “Iklan tidak boleh merendahkan produk pesaing secara langsung maupun tidak langsung”


B. Periklanan So Nice


Dalam kasus ini iklan So Nice So good telah melanggar peraturan dan prinsip dalam Perundang-undangan. Iklan ini tidak memperhatikan etika dalam berbisnis dimana terselip kata persuasif “mereka yang mengkonsumsi produk yang diiklankan akan tumbuh lebih tinggi daripada yang tidak”. Hal ini menunjukkan bahwa adanya makna atau informasi yang tidak benar. Kasus ini membuktikan bahwa telah terjadi pelanggaran dalam proses promosi serta melanggar hak-hak konsumen mengenai hak untuk mendapat informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa sebagaimana diatur dalam EPI bahwa “Jika suatu iklan mencantumkan garansi atau jaminan atas mutu suatu produk, maka dasar-dasar jaminannya harus dapat dipertanggungjawabkan”









































DAFTAR PUSTAKA








K.BERTENS. 2013. Pengantar Etika Bisnis. Yogyakarta:Kanisius


Ritonga, Erni. 2010. http://erniritonga123.blogspot.co.id/2010/01/definisi-etika.html (Diakses 9 April 2017)


Saragih, Yuli Irani. 2015. http://yuliiranis.blogspot.co.id/2015/12/pelanggaran-etika-pada-iklan-garuda.html (Diakses 9 April 2017)


Anonim. 2017. https://communicationista.wordpress.com/2009/07/01/fungsi-dan-peran-iklan/ (Diakses 9 April 2017)
http://repository.widyatama.ac.id/xmlui/bitstream/handle/123456789/2480/Bab%202.pdf?sequence=20